Kenapa Personal Branding Nggak Harus Estetik, Tapi Harus Otentik
- Diva

- Jul 12
- 2 min read

“Feed-nya rapi banget, aesthetic parah, auto pengen follow!”
Banyak yang pasti pernah kepikiran seperti itu saat lihat konten orang lain yang serba senada, tone warnanya kalem, caption-nya aesthetic, dan hidupnya terasa seperti Pinterest berjalan. Sekilas memang terlihat sebagai contoh personal branding yang ideal. Tapi, apakah personal branding memang cuma soal visual yang enak dilihat?
Buat content creator, apalagi yang masih di tahap awal, sering kali terlalu fokus pada urusan estetika. Padahal ada yang jauh lebih penting dari itu: keaslian diri.
Estetik Itu Visual, Branding Itu Cerita
Estetik memang menarik. Nggak bisa dipungkiri, konten yang rapi dan enak dilihat bisa bikin orang berhenti scroll tapi itu hanya permukaan.
Branding adalah cerita yang dibangun secara konsisten. Bukan cuma tentang warna feed atau font yang digunakan, tapi soal nilai, kepribadian, dan pesan yang ingin disampaikan. Branding adalah bagaimana orang lain memaknai kehadiran seseorang di dunia digital bukan sekadar bagaimana tampilannya.
Bisa saja tampil estetik tapi kosong isi atau justru membingungkan karena visual tidak nyambung dengan karakter yang ditunjukkan. Di titik ini, audiens akan bertanya-tanya: “Sebetulnya orang ini siapa, sih?”
Otentik Itu Magnet yang Lebih Kuat
Menjadi otentik bukan berarti tampil sembarangan. Otentik berarti ada keselarasan antara kepribadian asli dan konten yang dibuat.
Kalau memang suka humor absurd, tampil dengan gaya yang lucu. Kalau senang ngobrol serius soal isu sosial, tunjukkan itu. Audiens justru lebih mudah terhubung dengan seseorang yang jujur dan konsisten.
Contohnya bisa dilihat dari Raditya Dika, dari zaman blog, buku, sampai YouTube, gayanya tetap khas: awkward, jujur, dan penuh observasi lucu. Feed-nya mungkin bukan yang paling estetik, tapi audiensnya loyal karena tahu apa yang bisa diharapkan.
Karakter Asli Lebih Tahan Lama daripada Tren Visual
Estetika visual berubah cepat. Apa yang dianggap “clean look” tahun lalu, bisa terasa basi di tahun berikutnya. Tren warna, gaya editan, hingga konsep konten bisa berganti dalam hitungan bulan.
Tapi karakter asli? Itu yang bisa bertahan lama. Bahkan saat algoritma berubah atau muncul platform baru, audiens akan tetap mengikuti karena sudah percaya pada sosok di balik kontennya.
Lihat saja Jerome Polin. Videonya mungkin bukan yang paling sinematik, tapi kontennya relatable, jujur, dan punya arah yang jelas. Dia dikenal bukan karena filternya, tapi karena dirinya sendiri.
Estetik Boleh, Tapi Jangan Sampai Hilang Arah
Estetik bisa dipelajari. Tools-nya banyak, inspirasinya bertebaran. Tapi kejujuran, nilai, dan karakter nggak bisa dicari instan. Justru itu yang bikin personal branding jadi “personal”.
Boleh punya template yang konsisten. Boleh pakai filter yang senada. Tapi jangan sampai semua itu menutupi siapa sebenarnya yang sedang berbicara di balik layar.
Personal branding bukan soal bikin semua orang terkesan, tapi tentang membangun hubungan yang kuat dengan audiens yang tepat. Daripada kejar visual yang sempurna, lebih baik fokus menyampaikan pesan yang jujur dan bermakna.
Di dunia yang makin bising dan penuh polesan, kejujuran bisa jadi daya tarik paling menonjol dan percaya, menjadi diri sendiri di internet adalah strategi yang tidak akan pernah ketinggalan zaman.

Comments